Sejarah Batik Trusmi: Pengantar, Pengenalan dan Pendahuluan

Batik Trusmi adalah istilah yang merujuk pada batik khas Cirebon yang berpusat di daerah Trusmi, Kabupaten Cirebon. Batik Cirebon memiliki ciri khas batik pesisiran dengan keunikannya berupa motif dan warna yang tentunya berbeda dengan batik lain di Indonesia. Keindahan Batik Trusmi telah dikenal luas hingga ke mancanegara sehingga menjadi satu kebanggaan bagi masyarakat Cirebon. Mengenal dan memperkenalkan Batik Trusmi bisa dimulai dari sejarah Batik Trusmi itu sendiri.

Batik Cirebon sebagai sebuah industri telah tertelusuri oleh beberapa sejarawan dan seniman hingga ke akhir abad 19 atau awal abad 20. Meningkatnya ekonomi Cirebon kala itu menjadi salah satu penyebab lahirnya Batik Cirebon sebagai sebuah industri. Pun demikian, sejarah Batik Cirebon telah tercatat hingga di masa Kerajaan Cirebon di abad 14. Berbagai cerita dan legenda yang lahir dan beredar mengenainya cukup menarik untuk disimak.

Sebagaimana asal muasal kata Cirebon dan Grage, ada berbagai versi mengenai kata Trusmi yang tercatat dalam tulisan-tulisan maupun tutur kata masyarakat Cirebon. Satu hal yang pasti, masyarakat Trusmi mempercayai dengan keyakinannya bahwa mereka merupakan keturunan dari Mbah Buyut Trusmi, Ki Buyut Trusmi, atau Pangeran Walangsungsang  Cakrabuana atau lebih dikenal sebagai Mbah Kuwu Cerbon. Saat ini, Trusmi adalah sebuah nama desa di wilayah kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon yang mana terdapat komplek situs pemakaman Ki Buyut Trusmi. Untuk mengenang dan menghormatinya, setiap tahun terdapat ajang yang dikenal dengan sebutan Trusmian, merupakan upacara khidmat di situs pemakaman Ki Buyut Trusmi yang kemudian diramaikan oleh ajang budaya festival arak-arakan dan pacuan kuda. Ada juga upacara Ganti Welid (ganti rumput) dan Ganti Sirap (ganti atap) setiap empat tahun.

Salah satu versi tentang Trusmi dapat dibaca dari Sejarah Caruban Kawedar berjudul “Sambetipun Sajarah Trusmi” yang ditulis dalam bahasa Cirebon, diterjemahkan secara bebas oleh Mustaqim Asteja :

…Diceritakan setelah syiar Islam telah menyebar keseluruh nusantara pulau Jawa, kemudian Walisongo menyatukan tekad bermusyawarah bertempat di Masjid agung Sang Ciptarasa Cirebon. Kebetulan saat itu Sunan Gunung Jati mempunyai putra sir (putra gaib) yang bernama Bung Cikal.  Pangeran Cakrabuwana “Ki Kuwu Cerbon Kedua” berniat melepas jabatannya sebagai pemimpin atau “umaro”  untuk  menekuni agama sebagai pandita atau “ulama” sekaligus “mong-mong” mendidik Bung Cikal putra Sunan Gunung Jati.  Pangeran Cakrabuwana  membangun padukuhan ke arah baratsekitar tujuh Kilo Meter dari keraton Pakungwati Cirebon, yang kemudian bernama Astana Kramat Trusmi berasal dari sebuah balong kramat yang airnya sangat jernih, dari atas balong hinga dasarnya terlihat kerikil dan pasir yang airnya terus menerus semi “mengalir” sehingga dinamakan “Terussemi” atau “Trusmi”

Versi lain menyebutkan Bung Cikal atau Pangeran Manggarajati yang diasuh oleh Mbah Kuwu Cerbon atau Mbah Buyut Trusmi, sejak kecil telah terlihat kesaktiannya. Salah satu kebiasaan Bung Cikal adalah sering merusak tanaman yang ditanam oleh Mbah Buyut Trusmi, namun setiap tanaman yang dirusak oleh Bung Cikal segera tumbuh dan bersemi kembali sehingga masyarakat menamakan pedukuhan tersebut Trusmi yang berarti “Terus Bersemi”.

Ada lagi cerita tentang keindahan dan keterampilan hasil karya pembatik Trusmi pada jaman Kesultanan Cirebon. Kala itu, sang Sultan memerintahkan perajin batik Trusmi untuk membuatkan sebuah kain batik hanya dengan melihatnya saja, tanpa diperbolehkan membawa kain batik tersebut sebagai contoh. Ketika waktu yang telah disepakati tiba, perajin batik Trusmi membawakan kain batik hasil karyanya untuk dipersembahkan kepada sang Sultan. Sebagai bukti kemahirannya, pembatik Trusmi meminta kepada Sultan untuk membungkus kain batik milik Sultan yang asli dengan kain batik duplikatnya. Kemudian Sultan diminta untuk bisa membedakan batik asli dan batik duplikat. Seperti diketahui, sang Sultan tidak bisa membedakan batik asli dan batik duplikat dikarenakan identiknya kedua batik tersebut. Sang Sultan pun mengakui bahwa batik hasil karya perajin batik Trusmi dinilai sangat apik karena dapat membuat ‘copy’ yang sama persis tanpa membawa contoh aslinya.